Minggu, 08 Januari 2017

7117

Seperti apa kabar mu hari ini ?

Dunia yang penuh tanda tanya membuat hidup semakin rumit untuk memberikan tanda seru disetiap perjalanan.
Tuhan sudah memberitahukan bagaimana prolog hidup kita namun  epilognya masih Dia simpan sebagai rahasia mengagumkan.

Ini bukan tentang sesuatu yang terdahulu ataupun mendahului...
Juga bukan tentang dikenang ataupun mengenang...
Namun ini tentang nafas yang dititipNya pada ku hari itu, dan hari ini pun kembali terulang...

Tepat di tanggal yang sama, entah ini kejutan atau teguran, nafas yang Ia titip 23 tahun lalu hampir saja diambilNya kembali. Detik itu, saat nafas ku sudah di jurang maut, dibenak ku hanya ada kalimat "akankah Izrail menjemputku tepat di hari lahirku ?" Tapi, siapa yang tahu kalau Dia tenyata masih berbaik hati membiarkan nafas titipanNya masih duduk manis di paru-paru ku. Ketakutan dan rasa syukur memelukku hari itu...

Perihal nafas yang kau titip hari itu, Terima kasih telah membiarkanku menggunakannya sampai detik ini. Maka izinkan aku melukis harap ditaman langit-Mu, karena masih ku yakini bahwa Januari masih punya setumpuk janji mengagumkan untukku...

Jumat, 22 Juli 2016

Di Kamis manis, Jiwanya Pergi

Bukan fisiknya yang lelah, melainkan jiwanya yg tak sehat.
Bukan tangannya yg tergores, melainkan batinnya yang tengah menangis.
Hari-harinya ia lewati dengan getir. berusaha bangun tapi nihil, berusaha kuat tapi semakin rapuh.

ia telah kehilangan apa yang orang-orang sebut harapan, sungguh malang. Berjalan setiap saat dengan kesakitan dan keputusasaan. Jangankan untuk hari esok, hari ini pun ia tengah berpikir untuk tak lagi hidup. Ia menjadi pendosa tiada banding. Mengakihiri hidup dengan membunuh jiwanya terlebih dahulu.

Minggu, 03 Juli 2016

..............

Setiap malam semakin panjang saja baginya. Kepalanya hampir pecah diterpa ketakutan tiada henti. Ia mengadu, memaki, lalu tersedu dibalik bantal persegi panjang yang empuk.

Langit hitam diluar sana sedang menertawakannya, ia tak pernah sadar akan itu. Ceritanya ia tumpuk, setinggi apa nantinya tiada yang tahu. Tumpukan itu akan semakin meninggi setiap malamnya, entah apa yang akan mengurangi tumpukannya, entah dengan siapa ia akan berbagi tumpukannya.

Apa kabar ?

Juli telah bertandang di halaman rumah. Kemarin, Juni pamit meninggalkan ku lalu menanggalkan hujan sebagai teman untukku, katanya.

Di luar sana banyak yang melempari ku pertanyaan "apa kabar ?", lalu harus ku jawab apa ?, sedang aku sendiri enggan mendefenisikan seperti apa kabar ku hari ini...


Kamis, 21 Januari 2016

Say "see you" not "good bye"

Pergi lalu pulang…

Aku sedikit sensitif untuk kedua hal itu, bukan karena tak memiliki keinginan untuk pergi kemana-mana ataupun tak punya tempat bagi yang namanya pulang.

Menu pembuka ku di awal tahun 2016 tepatnya di januari (bulan yang setidaknya sedikit istimewa dibanding yang lain, pikirku) adalah perpisahan. Tragis bukan main kukatakan, bayangkan saja sebuah awal yang dalam waktu hanya sepersekian detik harus menemui akhir. Mengenaskan, sungguh.

Seorang teman baru saja kembali dari perantauannya. Meninggalkan rutinitas monotonnya yang ia anggap membosankan. Maklum saja, ia terbiasa dengan segala macam kebisingan kota hingga akhirnya tempat dimana jalanan sudah seperti kuburan pada pukul 10 malam dianggapnya sudah seperti neraka. Tapi kembalinya dia cukup membahagiakan, setidaknya personil akan bertambah ketika sebuah acara pernikahan di gelar.

Hari berikutnya, seorang teman harus pergi ke perantauannya di ibu kota, sedih sudah pasti. Setelah satu orang pulang, satu orang lainnya pergi. Ini sama saja satu dikalikan nol sama dengan nol, hasilnya tetap nihil. Jika demikian rencana penambahan personil tidak akan terjadi bukan ? Bandara. Salah satu tempat yang entah akan ku maknai seperti apa. Tempat dimana kebahagiaan dan kesedihan terjadi dalam satu waktu bersamaan. Hari itu, aku harus mengantarnya, dan seperti biasa ritual akan segera dilakukan. Foto bersama dengan para pengantar, foto berdua dengan yang diantar, acara peluk-pelukan, acara saling berbisik pesan “jaga diri baik-baik”, “jangan lupa kasi kabar”, “jaga kesehatan” dan bla…bla..bla… di akhiri lambaian tangan yang akan berhenti ketika yang akan pergi sudah luput dari pandangan, ritual selesai.

Satu hal yang selalu kulakukan ketika tengah berada di bandara yakni mengamati sekitar. Dan ku katakan kembali bahwa begitu banyak kebahagiaan dan tak kalah banyaknya kesedihan yang harus kusaksian dalam satu waktu. Kau tahu, itu menyakitkan bagiku. Tidak bisakah tempat itu hanya diisi dengan kebahagiaan ? disana ada yang resah menunggu datangnya seseorang dengan kondisi baik atau buruk tak ada yang tahu, ada yang  hanya menangis untuk melepas seseorang. Disana, rindu, iba, haru, marah, resah dan banyak lagi kawannya semua keluar dari sarangnya. Dan hatiku berkecamuk merasakan sekaligus menyaksikan itu semua.

Dua hari berikutnya, lagi-lagi seorang teman akan pergi. Bisa dikatakan akhir-akhir ini aku begitu melankolis. Kau tahu apa yang terjadi hari itu ? pipi ku basah sejadi-jadinya, aku sesenggukan menyaksikan perpisahan yang terjadi tak henti-hentinya, ini keterlaluan.

Lalu keesokan harinya, aku yang akan pergi (tolong dibaca pulang). Beberapa jam sebelumnya, aku menghabiskan waktu dengan tiga orang teman. Malam itu hanya ada sedikit bintang, kupikir langit ingin menangis. Diseberang sana beberapa meter dari tempat kami duduk  amat bising, jalanan tak pernah istirahat, dia terlalu sibuk. Kami sama-sama menikmati mocca float, roti sosis jadi santapan mereka sedang aku memilih roti coklat dengan fla susu untuk kunikmati. Malam semakin larut, pun perbincangan semakin panjang. Kami melanglang buana kedunia buku, tentang bagaimana kami menikmati buku sebagai candu, tentang bagaimana sebuah fantasi ataupun romansa dalam buku berpengaruh untuk hari-hari kami. Kami juga melakukan perjalanan ke berbagai rasa dalam minuman tentang bagaimana dia begitu mencintai kopi dan bagaimana aku begitu menggilai teh. Kami juga melakukan perjalanan panjang dalam film. Sungguh menyenangkan sekaligus menyedihkan harus mengakhiri pertemuan malam itu.

Malam itu kurasa waktu begitu singkat…

1…2…3

Sebuah detik ketika angin menyapu lembut wajahku, ku tahu itu sebuah pesan bahwa kita saling rindu, bisa kalian yakini itu ? memori ku akan selalu mampu menampung segala kenangan yang sudah kalian bagi bersamaku. Kertas ku kini tak lagi putih kosong, ada banyak coretan warna disana. Kalian tahu, aku menunggu waktu untuk kita melihat coretan itu kembali suatu waktu dimasa nanti ketika rambut kita sudah memutih serta tangan dan wajah kita sudah keriput, lalu saling mengejek ataupun memuji “kau lebih cantik sekarang ketimbang dulu”, “kau jauh lebih tampan sekarang ketimbang dulu”, sampai akhirnya suara anak kecil diluar sana sama-sama menertawakan kita.

Sekarang, dikepala ku cuma ada pertanyaan “kapan kita akan kembali melakukan perjalanan panjang ini, kawan ?

Lalu…

Malam berlalu seiring langkahku meninggalkan kota itu.



Catatan :
lagi-lagi aku begitu payah. Tulisanku selalu saja tentang keluhan dan rengekan. Diluar kamarku langit sedang menangis keras, kalian dapat salam dari Tuhan.

rabu, 20 januari 2014 (22.48 wita)

Jumat, 08 Januari 2016

Selamat Ulang Tahun

Satu penanda atas nafasku di muka bumi ini telah tiba. Angka yang kemarin sore masih duduk tenang dibangku ke-21 namun hari ini telah maju menuju bangku ke-22. Perputaran bumi semakin cepat rasanya bukan ?, siang sudah terlampau sering berganti peran dengan malam. Kau tahu, aku kini sudah bersahabat dengan malam. Tentu benar apa yang sering dikatakan oleh orang-orang bahwasanya sesuatu yang terlampau kita benci suatu waktu akan kita senangi, apa ini bisa kita sebut sebagai hukum alam ? silahkan tafsirkan sendiri.

Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari dimana ia diajak untuk melempar ingatan jauh ke belakang, ketika ia bertegur sapa dengan bumi pertama kali, ketika masih dalam buaian seorang perempuan lembut penuh kasih, atau ketika tengah bermain di halaman rumah dengan seorang lelaki ceria nan hebat. Ketika hari itu tiba, orang-orang pun kemudian mengangkat jemarinya untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah mereka lalui di dunia. Ya, sebut saja “hari ulang tahun”.

Orang-orang terdahulu bahkan tidak tahu kapan tepatnya mereka lahir karena hanya berdasar pada pergantian bulan dan musim sebagai penanda. Hari itu, tepatnya tanggal 7 aku menemukan diriku apa yang disebut orang-orang sedang “berulang tahun”. Sama sekali aku tak mengangkat jemari untuk menghitung tahun demi tahun nafasku yang sudah berhembus di muka bumi. Pukul 00.00 wita, beberapa teman yang notabene adalah teman serumah, membawa sekotak kue dengan sebatang lilin putih di tancapkan dibagian tengah kue itu, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun dalam beberapa versi bahasa. Tak langsung meniup lilin itu, kubiarkan meleleh untuk beberapa menit. Kurasa ada yang salah denganku malam itu, tak merasakan apa-apa lebih tepatnya. Apakah kau bisa menerjemahkan perasaanku yang “tak merasakan apa-apa” itu ? jikalau bisa segera jelaskan padaku.

Aku sempat berpikir, begitu banyak simbol-simbol yang di asosiasikan atau berhubungan dengan ulang tahun sejak ratusan tahun lalu. Aku pernah mendengar bahwa peringatan hari ulang tahun pertama kali dilakukan di eropa bahwasanya ada ketakutan akan adanya roh jahat yang akan datang pada seseorang yang berulang tahun, maka untuk mencegah hal demikian diundanglah teman dan kerabat untuk memberikan do’a serta pengharapan yang baik bagi orang yang sedang berulang tahun. Berkenaan dengan hal itu, kue ulang tahun adalah lambang simbolis dari sebuah perayaan, konon katanya dahulu bangsa yunani menggunakan kue untuk persembahan ke kuil Dewi Artemis (Dewi Bulan). Mereka menggunakan kue berbentuk bulat yang merepresentasikan bulan purnama dengan menyertakan lilin-lilin diatasnya karena membuat kue terlihat terang menyala seperti bulan. Seperti itulah setidaknya sedikit yang ku ketahui tentang ulang tahun. Ya, tanpa kita sadari kita tentunya mengikuti cara hidup orang-orang sebelum kita,sedikit demi sedikit tentunya.

Tahun-tahun kemarin januari ku selalu basah tapi untuk kali sama sekali tidak, januari ku begitu kering. Hari itu aku tak pernah mengharapkan apa-apa, semuanya kubiarkan sesuai jadwal yang telah di setting oleh Tuhan. Tak perlu ada adegan tambahan, tak perlu ada reka ulang di TKP. Aku mengutipnya dari seorang penulis ternama, dia berkata dalam bukunya “akan tetapi, impian tentang sesuatu yang tak mungkin, mereka memiliki nama tersendiri. Kita menyebutnya harapan.jikalau di izinkan, izinkan aku menjadi manusia bermanfaat yang memiliki apa yang orang-orang sebut "harapan" yang lebih. Itu saja.

Sebuah pesan untuk 7 januari

Mungkin tidak hari ini
Mungkin saja dilain waktu
Entah dibelahan bumi bagian mana
Jika waktu masih bersahabat, jika nafas masih berhembus
kau bisa datang  padaku
bersama senja merah yang menyala bukan berdarah,
bersama sebuah buku puisi yang akan kita selami kata-katanya,
dan jangan sampai lupa seduhan teh hangat yang akan kita nikmati bersama
Untuk sebuah hari ulang tahun, ku rasa seperti itu akan sempurna…

Terakhir,

Janganlah terlalu sibuk menanyakan kabar orang lain, menyapa orang lain ataupun memberi ucapan kepada orang lain. Cobalah sesekali lakukan itu kepada dirimu sendiri. Sederhana, cukup seperti ini,

“selamat malam, selamat ulang tahun, Riska”

Jumat, 30 Oktober 2015

Do not blame your past

Matamu perlahan terbuka, bukan karena mimpi buruk atau karena ingin buang air kecil yang membangunkanmu dari tidur malam yang sedikit lebih awal tadinya. Kau kepanasan rupanya. Rambut mu mulai basah karena keringat hingga membuat sarung bantal dan kapuk didalamnya ikut lembab. Kau lupa menyalakan kipas angin. Selimut yang telah disediakan oleh ibumu di sudut ranjang masih terlipat rapi, kau tak menggunakannya malam itu. Kamarmu hitam sejadi-jadinya, jendela ternyata kau tutup rapat ditambah horden hijau gelap membuatnya semakin jauh dari kata terang. Tiba-tiba saja kau kesulitan mengatur nafas, beberapa menit meninggalkan tapi tak kunjung normal. Kau masih takut gelap ?

Kau menahan diri untuk tidak beranjak memencet sakelar lampu disamping pintu kamar. Apa kau mencoba melawan takut mu ?... yah, kau berhasil melawannya tapi tiba-tiba gelapnya menyeretmu untuk mengingat sepenggal kisah kemarin. Cerita dimana saat itu kau menjadi begitu bodoh untuk mempertahankan sesuatu yang tak semestinya dipertahankan. Cerita dimana kau menjadi seorang pejuang dengan kaki tangan yang sudah lumpuh sedari awal. Kau menyesal ?

Matamu sedikit sayu malam itu, memori mu dipaksa untuk memungut keping-keping kenangan yang sudah berhamburan disepanjang jalan. Kau hafal betul setiap inchi perjalananmu bersama dia. Tiba-tiba kau ingin sekali menulis, tapi dengan sigapnya kau mengurungkan niat untuk itu. Kau berpikir bahwa ini hanya akan jadi tulisan rengekan yang begitu cengeng nan melankolis. Layaknya penulis pemula yang hanya bisa menulis tentang perasaan kegirangan saat cinta menimpa, perasaan tersayat-sayat saat cinta pergi, tersakiti, kemudian merasa tak hidup lagi. Siklusnya kurang lebih akan berputar seperti itu.

Lampu kamar akhirnya kau nyalakan. Kau kemudian menuju lantai dua teras rumahmu, duduk manis dikursi plastik merah dengan lantai sedikit basah karena gerimis sempat lewat seperti iklan minuman isotonik bervitamin berdurasi 30 detik, sekejap saja. Itu tempat favorit mu di kediaman. Disana kau selalu mengadu ke langit tentang cuaca hatimu setiap harinya, tapi kau lebih suka menghabiskan waktu disana saat malam tak peduli jika sesekali nyamuk mengajakmu untuk berperang, tak kau hiraukan.

Kau mengecek ponselmu yang tak berdering sejak pagi tadi, panggilan telepon atau pesan dari siapa yang hendak kau tunggu ? Kau tersadar bahwa oktober hampir berakhir, kado darimu belum juga dia terima sejak dua bulan lalu. Bagaimana tindakanmu ? Kau membiarkan hadiah kecil itu tak memiliki pemilik ? Ternyata kau membiarkannya seperti itu. Di tahun kemarin, kau ingat betul bagaimana degup jantungmu dibuatnya menjadi tak normal, bagaimana tingkahmu begitu kikuk ketika ditatap olehnya dan bagaimana tembok pertahanan yang sudah kau bangun bertahun-tahun lamanya, tembok yang tak kau biarkan seorangpun mendekatinya tapi berhasil diruntuhkannya. Kau sendiri tak percaya kala itu. Dia akhirnya kau izinkan untuk melangkah ke beranda mu, lalu masuk keruang tamu mu. Cukup lama ia menjadi tamu rupanya, lalu kemudian dengan sebuah alasan yang tak kalian pahami tapi kalian memaksa otak masing-masing untuk membuatnya menjadi paham, lalu menjadikannya konklusi dari sebuah teka teki perjalanan. Kau akhirnya terdiam menatap punggungnya yang berlalu meninggalkan ruang tamu mu yang sudah menjadi berantakan, pecahan cangkir teh yang telah kau seduhkan telah berserakan kemana-mana. Selang beberapa waktu, dunia mengirimkanmu beberapa potong gambar yang membuatmu akhirnya mengerti bahwa melepaskannya adalah pilihan paling bijak yang pernah kau ambil, sedang mempertahankannya adalah pilihan yang sedikit tak waras yang pernah kau ambil pula.

Kau seketika tertawa pelan, mengingat janji-janji yang telah ia rapalkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dihadapanmu entah di hari keberapa, jam berapa, menit dan detik keberapa kebersamaan kalian. Dia yang telah berani mengajakmu merancang masa depan bersama dan masih banyak lagi yang tak perlu di ingat satu persatu. Bibirmu sempat dibuatnya selalu manis karena senyum, senyum karenanya. Disisi lain, matamu sempat dibuatnya menjadi lahan yang selalu basah, basah karenanya. Kau sempat berpikir, betapa perpisahan tidaklah berarti apa-apa untuk dia. Hanya diawal dia merasa bahwa perpisahan layaknya raungan kematian yang akan merenggut nyawanya, tapi apa mau dikata melupakan bukanlah perkara yang rumit untuknya. Begitu mudah baginya.

Ponselmu tiba-tiba berdering, sebuah pesan masuk tapi enggan kau buka. Pukul 02:00 wita, lamunanmu akhirnya buyar. Kau sadar, betapa ruang mu telah berantakan sejadi-jadinya. Mulai sekarang kau akhirnya ingin membereskan pecahan-pecahan yang telah berserakan itu, membersihkan jejak kaki diberanda mu, lalu membangun kembali tembok pertahanan yang kokoh. "Tenang saja, ini takkan menjadi akhir dari dialog kita. Sapa mu akan kubalas sapa, senyum mu akan balas senyum pula jikalau suatu ketika salah satu dari kita berkenan untuk melemparnya. Tapi, rasanya tidak pantas rintik hujan mu kembali ku dialogkan dengan senja ku, juga takkan kubiarkan lagi kau mendekat bahkan menyentuh seinchi pun beranda hatiku, tidak akan lagi." Batinmu.

Kau beranjak dari kursimu, mengakhiri malam lalu berbisik kelangit "setelah perpisahan tak ada yang baik-baik saja, bukan ?"