Pergi lalu pulang…
Aku sedikit sensitif untuk kedua hal itu, bukan karena tak memiliki keinginan untuk pergi kemana-mana ataupun tak punya tempat bagi yang namanya pulang.
Menu pembuka ku di awal tahun 2016 tepatnya di januari (bulan yang setidaknya sedikit istimewa dibanding yang lain, pikirku) adalah perpisahan. Tragis bukan main kukatakan, bayangkan saja sebuah awal yang dalam waktu hanya sepersekian detik harus menemui akhir. Mengenaskan, sungguh.
Seorang teman baru saja kembali dari perantauannya. Meninggalkan rutinitas monotonnya yang ia anggap membosankan. Maklum saja, ia terbiasa dengan segala macam kebisingan kota hingga akhirnya tempat dimana jalanan sudah seperti kuburan pada pukul 10 malam dianggapnya sudah seperti neraka. Tapi kembalinya dia cukup membahagiakan, setidaknya personil akan bertambah ketika sebuah acara pernikahan di gelar.
Hari berikutnya, seorang teman harus pergi ke perantauannya di ibu kota, sedih sudah pasti. Setelah satu orang pulang, satu orang lainnya pergi. Ini sama saja satu dikalikan nol sama dengan nol, hasilnya tetap nihil. Jika demikian rencana penambahan personil tidak akan terjadi bukan ? Bandara. Salah satu tempat yang entah akan ku maknai seperti apa. Tempat dimana kebahagiaan dan kesedihan terjadi dalam satu waktu bersamaan. Hari itu, aku harus mengantarnya, dan seperti biasa ritual akan segera dilakukan. Foto bersama dengan para pengantar, foto berdua dengan yang diantar, acara peluk-pelukan, acara saling berbisik pesan “jaga diri baik-baik”, “jangan lupa kasi kabar”, “jaga kesehatan” dan bla…bla..bla… di akhiri lambaian tangan yang akan berhenti ketika yang akan pergi sudah luput dari pandangan, ritual selesai.
Satu hal yang selalu kulakukan ketika tengah berada di bandara yakni mengamati sekitar. Dan ku katakan kembali bahwa begitu banyak kebahagiaan dan tak kalah banyaknya kesedihan yang harus kusaksian dalam satu waktu. Kau tahu, itu menyakitkan bagiku. Tidak bisakah tempat itu hanya diisi dengan kebahagiaan ? disana ada yang resah menunggu datangnya seseorang dengan kondisi baik atau buruk tak ada yang tahu, ada yang hanya menangis untuk melepas seseorang. Disana, rindu, iba, haru, marah, resah dan banyak lagi kawannya semua keluar dari sarangnya. Dan hatiku berkecamuk merasakan sekaligus menyaksikan itu semua.
Dua hari berikutnya, lagi-lagi seorang teman akan pergi. Bisa dikatakan akhir-akhir ini aku begitu melankolis. Kau tahu apa yang terjadi hari itu ? pipi ku basah sejadi-jadinya, aku sesenggukan menyaksikan perpisahan yang terjadi tak henti-hentinya, ini keterlaluan.
Lalu keesokan harinya, aku yang akan pergi (tolong dibaca pulang). Beberapa jam sebelumnya, aku menghabiskan waktu dengan tiga orang teman. Malam itu hanya ada sedikit bintang, kupikir langit ingin menangis. Diseberang sana beberapa meter dari tempat kami duduk amat bising, jalanan tak pernah istirahat, dia terlalu sibuk. Kami sama-sama menikmati mocca float, roti sosis jadi santapan mereka sedang aku memilih roti coklat dengan fla susu untuk kunikmati. Malam semakin larut, pun perbincangan semakin panjang. Kami melanglang buana kedunia buku, tentang bagaimana kami menikmati buku sebagai candu, tentang bagaimana sebuah fantasi ataupun romansa dalam buku berpengaruh untuk hari-hari kami. Kami juga melakukan perjalanan ke berbagai rasa dalam minuman tentang bagaimana dia begitu mencintai kopi dan bagaimana aku begitu menggilai teh. Kami juga melakukan perjalanan panjang dalam film. Sungguh menyenangkan sekaligus menyedihkan harus mengakhiri pertemuan malam itu.
Malam itu kurasa waktu begitu singkat…
1…2…3
Sebuah detik ketika angin menyapu lembut wajahku, ku tahu itu sebuah pesan bahwa kita saling rindu, bisa kalian yakini itu ? memori ku akan selalu mampu menampung segala kenangan yang sudah kalian bagi bersamaku. Kertas ku kini tak lagi putih kosong, ada banyak coretan warna disana. Kalian tahu, aku menunggu waktu untuk kita melihat coretan itu kembali suatu waktu dimasa nanti ketika rambut kita sudah memutih serta tangan dan wajah kita sudah keriput, lalu saling mengejek ataupun memuji “kau lebih cantik sekarang ketimbang dulu”, “kau jauh lebih tampan sekarang ketimbang dulu”, sampai akhirnya suara anak kecil diluar sana sama-sama menertawakan kita.
Sekarang, dikepala ku cuma ada pertanyaan “kapan kita akan kembali melakukan perjalanan panjang ini, kawan ?”
Lalu…
Malam berlalu seiring langkahku meninggalkan kota itu.
Catatan :
lagi-lagi aku begitu payah. Tulisanku selalu saja tentang keluhan dan rengekan. Diluar kamarku langit sedang menangis keras, kalian dapat salam dari Tuhan.
rabu, 20 januari 2014 (22.48 wita)